Waktu pulang kampung dan tak jarang ketemu dengan anak- anak balita yang ditegur orang tuanya,” Jangan lari- lari nak!”, “Jangan nakal nak !”, dan berbagai teguran dalam Bahasa Indonesia lainnya, lazim ketika dialog itu terjadi di Kota- Kota besar macam Jakarta, Surabaya, Bandung, dll, menjadi sedikit aneh ketika itu terdengar di daerah pedesaan/pelosok yang cukup jauh dari kota besar, bukannya itu secara tak langsung mengajarkan anak-anak di daerah tuk meninggalkan Bahasa Ibu(daerah)nya?. Dan nampaknya telah menjadi fenomena di seluruh Indonesia ketika di daerah-daerah yang (dulu) masih kuat penggunaan bahasa daerahnya sekarang mulai tergusur dengan bahasa Indonesia, entah kondisi seperti ini benar atau salah, dengan demikian Bahasa Indonesia semakin dominan dan bahasa daerah semakin lemah penggunaannya. Pertanyaannya apakah Bahasa Daerah tak bisa berdampingan dengan Bahasa Indonesia? dalam artian sama- sama eksis.
Bahasa merupakan bagian penting dari kebudayaan, baik sebagai hasil kebudayaan maupun pembentuk kebudayaan, sebagian besar hasil kebudayaan diwujudkan melalui bahasa (baik itu bentuk lisan maupun tulisan), kita tak tahu mana yang lebih dahulu antara bahasa dan kebudayaan, dan sifat keduanya adalah saling mengikat jika terjadi perubahan atau perkembangan. Nah, di era globalisasi seperti sekarang ini bisa kita lihat fenomena di masyarakat Indonesia bahwa penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu semakin berkurang dan tergantikan oleh Bahasa Indonesia, jika menilik sejarah pemilihan Bahasa Indonesia oleh Founding Father negara kita sebagai bahasa persatuan tak bisa dilepaskan dari beragamnya suku dan bahasa daerah, jika memaksakan memakai bahasa ibu (daerah)masing - masing tentu saja akan menyulitkan perkembangan negara ini. Melihat dari situ maka digagaslah Bahasa Indonesia sebagai Bahasa resmi Negara Indonesia bahkan telah diatur dalam UUD 1945 bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia.
Ada tren yang berkembang di masyarakat bahwa Bahasa Indonesia seringkali digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh “mereka” yang cenderung telah mengenyam pendidikan tinggi walaupun sejatinya mereka tak beranjak dari daerahnya, Secara kasat mata terlihat Bahasa Indonesia sebagai simbolisasi “meningkatnya” derajat hidup seseorang, atau sebenarnya mereka malu menggunakan bahasa Ibu (daerah) nya sendiri?
Di Era Globalisasi ini segala sesuatu yang lagi booming atau menjadi Trendsetter seolah menjadi Hujjah yang wajib diikuti oleh kita semua, entah sadar atau tidak bahasa daerah yang terancam punah-pun menjadi Trendsetter di berbagai belahan dunia, menurut Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dendy Sugono pada Peringatan hari bahasa Ibu Internasional (25/2/2008) “Lima puluh persen dari 6.700 bahasa di dunia mengalami kepunahan dalam satu abad terakhir. Anak-anak muda meninggalkan bahasa ibunya dan ini tak lepas dari kuatnya pengaruh globalisasi,” Kompas.com , dan karena namanya tren global maka tak pelak di Indonesia pun juga demikian, Dari 742 bahasa daerah di Indonesia, hanya 13 bahasa yang penuturnya di atas satu juta orang. Artinya, terdapat 729 bahasa daerah lainnya yang berpenutur di bawah satu juga orang. Di antara 729 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah, karena berpenutur kurang dari 500 orang Kompas.com.
Bahasa yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan dihadapkan dengan masalah lainnya yakni Interferensi Bahasa, yang menurut pengertian sederhananya adalah kecenderungan membiasakan mengucapkan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain, atau masuknya suatu unsur bahasa lain ke sebuah bahasa mencakup pengucapan, tatabahasa, dan kosakata, mulai menghilangnya kosakata-kosakata murni dari bahasa daerah. Sebagai contoh adalah interferensi bahasa Indonesia ke Bahasa Banjar (Suku Banjar), seperti diungkapkan Profesor Abdul Djebar Hapip, mantan Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin di Kompas, ”Kalau tidak dipelihara, suatu ketika bahasa Banjar akan kalah oleh bahasa Indonesia karena bahasa Banjar dekat sekali dengan bahasa Indonesia. Dalam linguistik, mudah sekali interferensi bahasa Indonesia ke dalam bahasa Banjar,” Kompas.com.
Bahasa daerah sebagai Identitas dan harta tak berharga warisan nenek moyang. Jadi bagaimana agar bahasa daerah tak punah atau setidaknya bertahan? solusi sederhananya adalah posisikan bahasa daerah sebagai identitas/jatidiri kita, jika saya orang Sunda setidaknya saya harus bisa Bahasa Sunda, jika anda orang Makassar setidaknya anda harus bisa Bahasa Bugis, mulai sadarkan diri kita bahwa bahasa daerah merupakan warisan berharga leluhur kita, karya nyata kearifan lokal yang berwujud bahasa daerah, meski Bahasa daerah hanya bisa digunakan antar sesama warga se-daerah dan secara Globalisasi tidak banyak menguntungkan namun apakah Bahasa daerah yang sudah ratusan tahun ada akan hilang begitu saja?? diharapkan tidak karena bahasa daerah merupakan bagian dari Kebudayaan nasional.
Pada akhirnya Bahasa Indonesia itu wajib,
Bahasa Inggris itu harus bisa,
dan Bahasa Daerah jangan lupa ya
http://bahasa.kompasiana.com/2012/06/22/bahasa-daerah-hidup-segan-mati-tak-mau/
0 komentar:
Posting Komentar